Jumat, 02 Desember 2016

Reklamasi Tanjung Benoa : Nasib Buruk Masyarakat dan Lingkungan

Abstrak
. Tanah Bali yang menjadi permata Indonesia menempatkan Bali untuk mendapat beberapa gelar yaitu The Island of Gods, The Island of Paradise, The Island of Thousand Temples, The Morning of the World, dan lain sebagainya. Keindahan Bali tersebut dimanfaatkan oleh pemerintahan setempat untuk mengembangkan kawasan pariwisata dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi Bali. Salah satu kawasan yang menjadi percobaan pengembangan adalah Tanjung Benoa. Namun, pengembangan dilakukan dengan pembangunan yang tidak memerhatikan lingkungan. Pembangunan dilakukan oleh PT. TWBI yang ingin mereklamasi Tanjung Benoa seluas 833 hektare. Reklamasi pantai dengan pengurugan pasir memiliki dampak negatif terhadap lingkungan yang bisa berdampak pada bencana ekologi. Dampak sosial dan udaya turuk menjadi efek berkelanjutan dari rekalamsi pantai. Didalam paper ini akan dijelaskan bagaimana dampak yang akan ditimbulkan ketika pembangunan oleh PT. TWBI terealisasi. Paper ini menggunakan landasan teori yaitu teori Lynch dan Harwell yang menjelaskan tentang spektrum hak kepemilikan. Teori tersebut digunakan dalam rangka memcahkan masalah yang akan terjadi. Selain itu, paper ini juga akan memaparkan beberapa pendapat penulis mengenai slusi alternatif selain menggunakn teori Lynch. 

Pendahuluan
Bali merupakan pulau yang menjadi potensi wisata di Indonesia. Sebuah provinsi di Indonesia yang beribukotakan Denpasar menjadi serbuan para wisatawan yang ingin menikmati pesona Bali. Sejak zaman penguasaan Belanda, Bali menjadi salah satu destinasi favorit bagi para pelancong atau bahkan pemerhati budaya adat daerah setempat. Bali tidak saja kedatangan orang asing sebagai pelancong namun tak sedikit para pemerhati dan penekun budaya yang datang untuk mencatat keunikan seni budaya Bali. Tanah Bali yang menjadi permata Indonesia menempatkan Bali untuk mendapat beberapa gelar yaitu The Island of Gods, The Island of Paradise, The Island of Thousand Temples, The Morning of the World, dan lain sebagainya.
  Keindahan Bali tersebut dimanfaatkan oleh pemerintahan setempat untuk mengembangkan kawasan pariwisata dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi Bali. Salah satunya adalah pembangunan saran hunian wisata, tempat perbelanjaan hingga objek wisata salah satunya adalah kepariwisataan di Tanjung Benoa. Tanjung benoa adalah bagian dari provinsi Bali yang memiliki wisata pantai dengan berbagai wahana air dan perjalanan ke Pulau Penyu. Dibalik potensi wisata tersebut, Teluk Benoa merupakan kawasan yang sangat sakral dan jantung dari masyarakat sekitar. Pelaksanaan upacara agama sekaligus daerah untuk mengais rezeki terletak di kawasan Tanjung Benoa. Potensi wisata yang sangat menguntungkan membuat para investor melirik Tanjung Benoa untuk mengadakan pembangunan besar-besaran ditengah laut dengan cara reklamasi. Reklamasi pantai dengan cara membuat sebuah pulau buatan diatas laut menuai kontroversi diantara berbagai pihak salah satunya adalah masyarakat pesisir Benoa dengan investor rakus.

Latar Belakang
Dari tahun ke tahun, pembangunan dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi terus digencarkan di beberapa daerah perkotaan. Namun, saat ini pembangunan tak lagi terfokus pada perkotaan yang padat penduduk melainkan beralih ke daerah strategis yang cenderung terdapat didaerah pedesaan ataupun pesisir. Kurangnya ketersediaan tanah dikota menyebabkan daerah esisir dan laut menjadi korban untuk dimanfaatkan dan dialihfungsikan menjadi wilayah daratan. Tak jarang para investor melirik daerah pesisir dan laut untuk melakukan pembangunan dengan alternatif penimbunan wilayah pantai yang dikenal dengan sebutan reklamasi pantai.
Sumber daya alam yang bisa diperbaharui dengan ketersediaan yang tidak terbatas salah satunya adalah laut. Indonesia memiliki lautan yang luas sekitar 3.273.810 km² sekitar 63% dari luas negara Indonesia. Luasnya wilayah laut bumi pertiwi dengan kekayaan sumber daya alam dibawahnya membuat Indonesia dikatakan negara “kaya” akan alamnya. Kaya dalam tanda kutip menandakan bahwa Indonesia saat ini kaya bukan karena keaslian alamnya namun pengolahannya. Pengolahan yang ditujukan untuk memberikan value added tak lagi memperhatikan lingkungannya. Salah satunya adalah pembangunan yang tidak berkelanjutan yang tidak memikirkan generasi penerusnya.
Reklamasi pantai menjadi isu yang sangat kontroversial di lingkungan masyarakat. Dalam KBBI, reklamasi adalah usaha memperluas tanah (pertanian) dengan memanfaatkan daerah yang semula tidak berguna (misalnya dengan cara menguruk daerah rawa-rawa).  Sesuai dengan definisinya, reklamasi yang baik adalah pembuatan tempat baru yang dilakukan dengan cara memanfaatkan lingkungan yang sudah mati (contohnya: kawasan bekas penambangan) dan diubah menjadi lingkungan yang produktif. Namun, lain halnya dengan yang dilakukan oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) yang tidak memahami dengan baik definisi reklamasi pantai tersebut. Alhasil, reklamasi yang dilakukan di Tanjung Benoa mengurug pasir di pantai yang masih “memiliki kehidupan” dan menimbunnya dengan material-material untuk membentuk sebuah objek wisata. Hal ini tentunya menimbulkan beberapa penolakan dari berbagai lapisan masyarakat khususnya masyarakat pesisir Tanjung Benoa.
Sewaktu zaman Soeharto, rekalamasi pantai pernah dilakukan di Tanjung Benoa seluas 300 hektar. Pengurugan pasir dilakukan sedemikian rupa untuk melakukan program Pembangunan Lima Tahun (Pelita), namun masyarakat tidak berani mengeluarkan suara penolakan akibat  rezim Soeharto yang saat itu dicap sebagai diktator. Reklamasi yang dilakukan oleh Soeharto sangat tidak membuahkan hasil dikarenakan pergantian kekuasaan oleh B.J. Habibie. Dampaknya sangat memilukan sekali karena salah satu kawasan laut yang saat itu ditimbun pasir sekarang menjadi tanah lapang yang tidak berfungsi lagi. Bahkan masyarakat Bali sampai saat ini tidak diizinkan untuk menginjakkan kaki di daerah tersebut. Salah satu pengalaman buruk tersebut, menjadikan masyarakat Bali memiliki stigma negatif segala bentuk proyek yang mereklamasi pantai.     
Dampak yang ditimbulkan dari proyek ini bukan sebatas degradasi lingkungan saja. Pengaruhnya sangat menyebar ke berbagai aspek sosial, ekonomi dan budaya sangat meresahkan masyarakat. Lebih parahnya lagi, dampak yang sangat kompleks tersebut sebagian besar ditanggung oleh masyarakat lokal bukan para investor. Investor yang hanya mengeruk keuntungan dari proyek yang telah dibuat berbanding terbalik dengan masyarakat Tanjung Benoa yang harus kehilangan mata pencaharian dan rasa ketakutan akan bencana yang akan terjadi. 

Rumusan Masalah
Didalam paper ini akan dijelaskan beberapa rumusan masalah yaitu:
1.       Apakah Tanjung Benoa diperlukan reklamasi pantai untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Bali?
2.      Bagaimana dampak terhadap masyarakat dan lingkungan dari pembangunan di Tanjung Benoa?
3.      Apakah upaya yang tepat untuk melindungi Tanjung Benoa dari reklamasi?

Tujuan Penelitian
Adapun dalam paper ini menjelaskan beberapa tujuan yaitu :
1.      Untuk mengetahui apakah Tanjung Benoa diperlukan reklamasi pantai untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Bali.
2.      Untuk mengetahui bagaimana dampak terhadap masyarakat dan lingkungan dari pembangunan di Tanjung Benoa
3.      Untuk mengetahui upaya yang tepat untuk melindungi Tanjung Benoa dari reklamasi.

Landasan Teori

Immanuel Kant mengatakan bahwa “Experience without theory is blind”. Oleh karena itu dibutuhkan teori dalam menyelesaikan sebuah masalah dengan tujuan agar pembahasan yang akan disampaikan memiliki dasar yang jelas. Namun, sebelum menjelaskan teorinya, kasus reklamasi yang terjadi dilaut harus diklasifikasikan kedalam beberapa jenis barang :
Keterangan tabel adalah sebagai berikut :
1.      Excludable adalah sifat sebuah jenis barang dimana konsumsi hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan tertentu (harga dan lain sebagainya). Jika sesorang bisa memenuhi harga yang tertera maka, sesorang berhak memiliki barang tersebut. Sehingga sifat ini memeiliki kekhususan kepemilikan terhadap barang tersebut. 
2.      Non-excludable adalah sifat sebuah jenis barang dimana konsumsi sebuah barang tidak mempunyai kepemilikan khusus dan tidak harus memenuhi persyaratan tertentu. Sehingga sifatnya tidak ekslusif dan dan tidak adayang bisa menghalangi seseorang mendapatkan manfaatnya. 
3.       Rival adalah sifat sebuah jenis barang dimana untuk mengkonsumsinya dibutuhkan kompetisi dan hal ini dapat menyebabkan seseorang kehilangan kesempatan untuk menikmati manfaatnya.  
4.      Non-Rival adalah sifat sebuah jenis barang dimana untuk mengkonsumsinya tidak  dibutuhkan kompetisi sehingga seseorang lain tidak akan kehilangan kesempatan untuk menikmati manfaatnya. 


 

 
 










Teori Lynch dan Harwell (2002) mengatakan bahwa ada pengelolaan tepat untuk  Common Pool Resources. Common Pool Resources yang selalu dihadapkan dengan pemanfaatan berlebih terhadap sumberdaya yang bersifat Non-excludeable dan Rival.
Eksploitasi ini memberikan pengaruh negatif untuk berberapa pihak khususnya masyarakat yang yang berpijak di dekat lingkungan sumber daya tersebut. Oleh karena itu Lynch dan Harwell membawa teori yang bernama Spektrum Hak Kepemilikan.


Dalam mewujudkan pembangunan yang adil Lynch menyebutkan ada beberapa hasil kepemilikan yang dapat digambarkan dari grafik diatas yaitu kelompok-publik, kelompok-swasta, swasta-individu, dan individu-publik. 
  

Pembahasan
Tahun ke tahun begitu banyak proyek-proyek yang dijalankan oleh beberapa perusahan besar di Indonesia contohnya Giant Sea Wall dan lain sebagainya. Kenyataannya memang proyek-proyek ini menunjang perekonomian namun dampak dalam jangka panjangnya layaknya senjata makan tuan yang berawal dari menunjang beralih menjadi menjatuhkan. Terkadang beberapa investor yang ingin mencapai keberhasilan dalam hal pembangunan melupakan implikasinya terhadap masyarakat maupun lingkungan. Pembangunan memang penting dalam perekonomian, namun yang menjadi prioritas adalah kehidupan lingkungan sekitarnya. 
Sebuah dokumen Surat Keputusan (SK) Gubernur Bali bernomor 2138/02-C/HK/2012 membuat publik Bali tercengang pada awal Juli lalu. Dalam SK tersebut, sebuah perusahaan swasta PT. Tirta Wahana Bali International (PT. TWBI) diberikan izin dan hak pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan wilayah perairan Teluk Benoa, sebuah perairan strategis di selatan Bali. PT. TWBI diberikan hak pemanfaatan seluas 838 hektar dengan jangka waktu 30 tahun, dan dapat diperpanjang 20 tahun. 


Diatas pulau tersebut akan dibangun hotel wisata, tempat ibadah dengan lima agama, mall, area komersil dan lain sebagainya. Terkait dengan reklamasi Tanjung Benoa, menurut berita harian Kompas.com Bali  saat ini sudah berhasil menarik wisatawan mancanegara dari kawasan Asia Pasifik mencapai 60 persen dari 3,7 juta masyarakat internasional yang melakukan perjalanan wisata 2014, dan mereka umumnya tertarik karena pantai. Wisatawan asing memang tertarik akan nuansa alam Bali bukan bangunan-banguna pencakar langit yang berisi mall, bioskop dan lain sebagainya. Alasan wisatawan asing berlibur dikarenakan ingin menikmati suasana yang berudarakan segar yang berbeda dari negara asalnya yang penuh dengan bangunan pencakar lagit.
Selain itu, masyarakat Tanjung Benoa dikenal dengan keramahannya dan adat yang begitu kental didalam budayanya. Hal ini menjadi salah satu faktor penarik wisatawan untuk mengunjungi Tanjung Benoa. Pembelajaran akan adat dan budaya menjadi fokus masyarakat lokal untuk mengenalkan budaya Bali ke berbagai lapisan masyarakat hingga kacah internasional. Tanpa pembangunan barupun Tanjung Benoa masih bisa menarik pengunjung dengan kekayaan akan nuansa religi, budaya dan adatnya.
ForBALI adalah forum non partisan dan independen, yang dibentuk oleh masyarakat Bali sebagai forum perlinungan bagi masyarakat dan lingkungan Bali secara utuh. ForBALI tidak anti pembangunan dan tidak anti pariwisata. Mereka sangat mendukung pembangunan pariwisata di Bali selama proses pembangunan tersebut tidak menghancurkan masa depan alam, lingkungan dan adatistiadat di Bali, bersih dari korupsi dan aksi kongkalingkong penguasa dan pengusaha, serta taat pada hukum.
Oleh karena itu, Tanjung Benoa tidak memerlukan reklamasi pantai dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi terlebih yang merusak alam , tanpa reklamasi Tanjung Benoa tak pernah sepi akan pengunjung dan pertumbuhan ekonomi penduduk sekitar masih cukup stabil. Dan dengan diadakannya reklamasi justru akan membuat sebagian kegiatan ekonomi masyaraat Tanjung Benoa menjadi terhambat dan akan dijelaskan di pembahasan selanjutnya.   
Reklamasi pantai tentunya secara kasat mata menimbulkan berbagai dampak negatif baik dari segi lingkungan, sosial dan budaya. Pertama adalah dari segi lingkungan yang secara jelas sangat merusak kualitas ekosistem laut Tanjung Benoa. Reklamasi pantai merupakan penimbunan pasir di pantai hingga dilakukan penyemenan akibatnya kehidupan bawah laut akan mati. Terumbu karang yang menjadi tempat hidup beberapa jenis ikan menjadi kehilangan habitat. Terumbu karang yang menjadi penyangga kehidupan akan dihancurkan sehingga tidak ada lagi kehidupan coral bawah laut. Hal ini membuktikan bahwa Tanjung Benoa yang merupakan kawasan konservasi (kawasan yang dilindungi) menjadi kawasan yang dapat direklamasi.
Selain rusaknya coral, Bali pasti akan terancam banjir  dan yang lebih parah adalah tanjung benoa yang menjadi  kawasan yang pertama kali akan tenggelam. Pengurugan pasir akan membuatlaunt semakin dalam yang akhirnya arus airpun menjadi tidak stabil sehingga jika terjadi pasang maka ombak sewaktu-waktu akan langsung menerjang daerah pesisir Tanjung Benoa. Alasan yang menjadikan reklamasi membuat Tanjung benoa banjir adalah lokasi Tanjung Benoa yang menjadi muara dari 5 Daerah Aliran Sungai yaitu  DAS Badung, DAS Mati, DAS Tuban, DAS Bualu, dan DAS Sama. Ketika terjadi reklamasi, maka daerah penampung aliran sungai menjadi berkurang, sehingga Bali sangat memungkinkan untuk terjadi banjir. Ketika terjadi banjir, yang dapat kerugian terbesar pasti masyarakat setempat. Pembangunan saat ini yang sangat disayangkan membuat terjadi kesenjangan, yang kaya akan semakin dan yang miskin akan semakin miskin.
Kedua adalah dari segi sosial terhadap dampak yang ditimbulkan dari reklamasi. Mayoritas masyaraat Tanjung Benoa memiliki mata pencaharian nelayan. Menghidupi keluarganya dengan mengambil dari alam. Namun, ketika ada kebijakan reklamasi tempat melaut mereka jadi berkurang sehingga sumber daya ikanpun juga ikut berkurang. Akibatnya, para nelayan akan melaut lebih jauh lagi untuk mendpatkan ikan lebih banyak. Konsekuensi terakhir yang didapat adalah waktu bersama keluarga akan semakin berkurang. Disini terlihat bahwa ada beban sosial tersendiri bagi masyarakat nelayan.    
Yang menjadi garis besar saat ini apakah dengan adanya pembangunan objek wisata oleh PT. TWBI akan membangun pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal Tanjung Benoa. Pembangunan mega proyek pasti akan membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Tenaga kerja bisa saja di rekrut dari masyarakat lokal namun batas jabatan mereka hanyalah sebagai ‘kuli bangunan’. Untuk menjadi karyawan tetap disebuah objek wisata tersebut, PT. TWBI akan memilih orang-orang yang berkualifikasi untuk dipekerjakan. Namun, saat ada depht interview dengan masyrakat sekitar Tanjung Benoa jika mereka diberikan pihak untuk bekerja di ‘pulau baru’ atau nelayan, mereka akan memilih untuk nelayan. Pekerjaan tersebut menjadi sebuah tradisi turun-temurun dari nenek moyang sehingga sudah menjadi kebiasaan yang wajib dilakukan.
Yang terakhir adalah dampak reklamasi pantai dari segi budaya. Dalam penelitian yang dilakukannya di Teluk Benoa mulai dari 1 Mei 2015 tersebut ditemukan 60 titik suci di kawasan Teluk Benoa dengan pembagian 24 Pura, 19 Loloan dan 17 Muntig. Teluk Benoa merupakan Campuhan Agung (Pertemuan sungai-sungai dengan laut yang disucikan), tempat pertemuan-pertemuan energi niskala dan diyakini sebagai tempat berkumpulnya ruh suci dan para Hyang/Bhatara/Dewa. Tanjung Benoa merupakan tempat upacara adat yang serig digunakan oleh masyarakat Tanjung Benoa. Ketika rencana reklamasi terealisasikan, kawasan suci menjadi terhalang dan bahkan akses menuju tempat suci tersebut akan terhalang oleh kawasan reklamasi.
Begitu kompleks dampak yang ditimbulkan dari reklamasi pantai meyebabkan segala penolakan dari masyarakat semakin bertubi-tubi akan perencanaan mega proyek tersebut. Hal ini disebabkan laut merupakan barang sumber daya bersama yang bersifat rival dan non-excludeable. Artinya, laut adalah barang dimana tidak ada kepemilikan khusus/ tidak eksklusif dimiliki oleh seseorang melainkan laut bisa dinikmati manfaatnya oleh seluruh masyarakat namun hal tersebut bisa mengurangi kesempatan seseorang lain untuk menikmati hal yang serupa. Seperti contohnya dalam kasus rekalamasi pantai. Laut adalah milik seluruh masyarakat dan tidak kepemilikan khusus bagi sesorang untuk memiliki secara ekskulusif. Sehingga ada pemikiran masyarakat tertentu yang ingin menikmati secara maksimal laut tersebut dengan cara menimnbun asir untuk melakukan pembangunan sehingga meraup keuntungan pribadi. Dengan adanya reklamasi pantai, maka kesempatan nelayan ataupun masyarakat Tanjung Benoa untuk menikmati hasil laut semakin berkurang hal ini yang dinamakan sifat rival dimana seseorang lain kesempatannya berkurang untuk menikmati barang serupa.    
Masalah Common Pool Resources terus bermunculan hingga menyebabkan pembangunan tidak berimbang. Sesuai dengan Teori Lynch, ada 4 kemungkinan kepemilikan yang terjadi yaitu kelompok-publik, kelompok-swasta, swasta-individu, dan individu-publik. Permasalahan yang ada di Tanjung Benoa merupakan kepemilikan antara swasta dan publik (dikuasai oleh negara). Hak privatisasi untuk swasta dilakukan pemerintah dikarenakan hal yang lebih menguntungkan daripada harus menyerahkan kepada masyarakat setempat. Hal ini cenderung mengarah kepada kerusakan lingkungan dan masyarakat. Mayoritas perusahaan swasta tidak melakukan prosedur AMDAL dan selalu diloloskan begitu saja oleh pemerintah.
Untuk menangani dampak yang akan terjadi jika pemerintah memeprebolehkan PT. TWBI maka yang dilakukan pertama kali adalah monitoring dari masyarakat, pembatasan akses dan pemberian sistem reward kepada masyarakat setempat akibat pegalihfungsian laut menjadi daratan. Monitoring masyarakat dapat dilakukan dengan cara pembuangan limbah dengan pemberlakuan sistem daur ulang dan tentunya harus mengikuti proses AMDAL sebelum mendapat perizinian masyarakat setempat. Pembatasan akses bisa dilakukan dengan cara pembatasan lahan yang akan di reklamasi serta material yang digunakan untuk menimbun lautan tersebut. Adakalanya mencontoh orang Bajo di Telok Benoa yag mereklamasi menggunakan karang mati bukan dengan timbunan pasir ataupun semen sehingga ekosistem diseitarnya tidak akan rusak. Meskipun waktu yang dibutuhkan untuk mereklamasi 3 hektare menjadi 12 hektare membutuhkan waktu lama namun hal ini tetap menjaga Tanjung Benoa sebagai daerah konservasi. Pembatasan akses juga dilakukan dengan cara pembatasan penggunaan air bersih. Masyarakat Tanjung Benoa pernah merasakan kekurangan air bersih akibat rekalamasi pantai. Pemerataan air harus merata diantara kedua daerah yaitu daeraha relamasi dan daerah pesisir. Pemberian reward kepada masyarakat setempat bisa dengan cara pemberian lapangan pekerjaan apabila mega proyek benar-benar terealisasi.
Namun , berbeda kasus jika kepemilikan Tanjung Benoa yang dikuasai negara (kepemilikan publik) bekerjasama dengan kelompok masyarakat Tanjung Benoa (kepemilikan kelompok). Hal ini membuat hak-hak masyarakat yang menduduki lebih lama diakui dan meraka akan mengerti tentang kondisi alam. Dalam hal ini pemerintah sebagai sarana untuk pembina masyarakat dan monitoring kemajauan perkembangan pembangunan. Untuk masyarakat setempat bisa mengelola kawasan Tanjung Benoa dengan memeberlakukan pembangunan berkelanjutan. Dalam hak kepemilikan publik-kelompok hak-hak masyarakat Tanjung Benoa lebih diakui eksistensinya di kawasan tersebut. Hal ini juga akan berdampak positif sekali terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat Bali, dengan kepemilikan masyarat setempat, masyarakt bisa mengelola kekayaan alamnya menjadi sesuatu hal yang memiliki nilai tambah tanpa menyakiti bumi pertiwinya.     
  

Kesimpulan
Rencana reklamasi pantai yang akan dilakukan oleh PT. TWBI di Tanjung Benoa sangat menuai pro kontra dari berbagai pihak, baik dari para investor, pemerintahan Bali atapun masyarakat pesisir Tanjung Benoa. Relamasi seluas 833 hektare dengan jangka waktu 30 tahun akan dibangun hotel wisata, tempat ibadah dengan lima agama, mall, area komersil dan lain sebagainya. Hal ini tentunya mengalami penolakan dari masyarakat Bali yang diwakilkan oleh ForBali dalam penyampaian pendapatdalam diskusi-diskusi dengan pihak luar.
Dari pembahasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa, Tanjung Benoa tidak memerlukan reklamasi pantai dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi terlebih yang merusak alam, tanpa reklamasi Tanjung Benoa tak pernah sepi akan pengunjung dan pertumbuhan ekonomi penduduk sekitar masih cukup stabil. Selain itu dampak yang ditimbulkan sangat multidimensional baik dari segi lingkungan, sosial dan budaya. Solusi yang dapat dilakukan untuk menangani beberapa dampak yang akan terjadi adalah jika pemerintah memperbolehkan PT. TWBI untuk melakukan pembangunan maka  harus ada monitoring dari masyarakat, pembatasan akses dan pemberian sistem reward kepada masyarakat setempat akibat pegalihfungsian laut menjadi daratan. Selain itu, kepemilikan jangan lagi membawa swasta karena pasti swasta enggan untuk melakukan prosedur AMDAL dan  hak kepemilikan publik-kelompok lebih tepat digunakan agar hak-hak masyarakat Tanjung Benoa lebih diakui eksistensinya di kawasan tersebut. Hal ini juga akan berdampak positif sekali terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat Bali.


Daftar Pustaka
Anonim. (2013). Luas Wilayah Negara Indonesia. Diakses tanggal 20 Desember 2015 dari http://www.invonesia.com/luas-wilayah-negara-indonesia.html
Asdhiana, I Made. (2015). Mengapa Pelancong Tertarik Berlibur ke Tanjung Benoa?. Diakses tanggal 21 Desember 2015 dari http://travel.kompas.com/read/2015/03/29/192600427/Mengapa.Pelancong.Tertarik.Berlibur.ke.Tanjung.Benoa.
Bayu, Dimas Jarot. (2015). Ekologi Bali Selatan Terancam Rusak karena Reklamasi. Diakses tanggal 21 Desember 2015 dari http://properti.kompas.com/read/2015/02/27/200014121/Ekologi.Bali.Selatan.Terancam.Rusak.karena.Reklamasi
Darmoko, Suriadi. (2015). Tidak Bisa Dibantah: Teluk Benoa Kawasan Suci. Diakses tanggal 21 Desember 2015 dari http://balebengong.net/lingkungan/2015/11/07/tidak-bisa-dibantah-teluk-benoa-kawasan-suci.html
Erie Sudewo. (2014).  Mencari Tauladan Kesesuaian antara Teori dan Praktek. Diakses pada tanggal 18 Desember 2015 dari indonesiaberkarakter.org.
Erviani, Ni Komang. (2013). Walhi Bali: Dokumen Izin Pengelolaan Teluk Benoa Dirilis Saat Publik Gencar Menolak Reklamasi. Diakses tanggal 21 Desember 2015 dari http://www.mongabay.co.id/tag/tirta-wahana-bali/
ForBali. (2014). 13 Alasan Tolak Reklamasi Teluk Benoa. hal. 1.
ForBali. (2014). Apa itu ‘Bali Tolak Reklamasi’?. hal.1.
Kalalo, Flora Pricilla. (2009). Implikasi Hukum Kebijakan Reklamasi Pantai dan Laut di Indonesia Buku 2. Jakarta: LoGoz Publishing.
Lynch O,Harwell.2002.Whose Natural Resources?Whose Common Good?Toward a New Paradigm of Environmental Justice and the Nastional Interest in Indonesia. Bogor [ID]: Studio Kendil.
Prasetya, Ferry. (2012). Modul Ekonomi Publik Bagian IV: Teori Barang Publik.  
Provinsi Bali. (2010). Bali dan Pariwisata. Diakses tanggal 21 Desember 2015 dari http://www.baliprov.go.id/id/Bali-dan-Pariwisata
Pusat Bahasa Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka
Sarilani, Ni Putu. (2011). Masalah Lingkungan: Mengelola Sumberdaya Bersama – Menghindari “Tragedy of the Commons”.
Todaro, Michael dan Stephen Smith. (2006). Pembangunan Ekonomi Edisi  Kesembilan Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar