Abstrak
.
Tanah Bali yang menjadi permata Indonesia menempatkan Bali untuk mendapat
beberapa gelar yaitu The Island of Gods,
The Island of Paradise, The Island of Thousand Temples, The Morning of the
World, dan lain sebagainya. Keindahan Bali tersebut dimanfaatkan oleh
pemerintahan setempat untuk mengembangkan kawasan pariwisata dalam rangka
memacu pertumbuhan ekonomi Bali. Salah satu kawasan yang menjadi percobaan pengembangan
adalah Tanjung Benoa. Namun, pengembangan dilakukan dengan pembangunan yang
tidak memerhatikan lingkungan. Pembangunan dilakukan oleh PT. TWBI yang ingin
mereklamasi Tanjung Benoa seluas 833 hektare. Reklamasi pantai dengan
pengurugan pasir memiliki dampak negatif terhadap lingkungan yang bisa
berdampak pada bencana ekologi. Dampak sosial dan udaya turuk menjadi efek
berkelanjutan dari rekalamsi pantai. Didalam paper ini akan dijelaskan
bagaimana dampak yang akan ditimbulkan ketika pembangunan oleh PT. TWBI
terealisasi. Paper ini menggunakan landasan teori yaitu teori Lynch dan Harwell
yang menjelaskan tentang spektrum hak kepemilikan. Teori tersebut digunakan
dalam rangka memcahkan masalah yang akan terjadi. Selain itu, paper ini juga
akan memaparkan beberapa pendapat penulis mengenai slusi alternatif selain
menggunakn teori Lynch.
Pendahuluan
Bali
merupakan pulau yang menjadi potensi wisata di Indonesia. Sebuah provinsi di
Indonesia yang beribukotakan Denpasar menjadi serbuan para wisatawan yang ingin
menikmati pesona Bali. Sejak zaman penguasaan Belanda, Bali menjadi salah satu
destinasi favorit bagi para pelancong atau bahkan pemerhati budaya adat daerah
setempat. Bali tidak saja kedatangan orang asing sebagai pelancong namun tak
sedikit para pemerhati dan penekun budaya yang datang untuk mencatat keunikan
seni budaya Bali. Tanah Bali yang menjadi permata Indonesia menempatkan Bali
untuk mendapat beberapa gelar yaitu The
Island of Gods, The Island of Paradise, The Island of Thousand Temples, The
Morning of the World, dan lain sebagainya.
Keindahan Bali tersebut dimanfaatkan oleh
pemerintahan setempat untuk mengembangkan kawasan pariwisata dalam rangka memacu
pertumbuhan ekonomi Bali. Salah satunya adalah pembangunan saran hunian wisata,
tempat perbelanjaan hingga objek wisata salah satunya adalah kepariwisataan di Tanjung
Benoa. Tanjung benoa adalah bagian dari provinsi Bali yang memiliki wisata
pantai dengan berbagai wahana air dan perjalanan ke Pulau Penyu. Dibalik
potensi wisata tersebut, Teluk Benoa merupakan kawasan yang sangat sakral dan
jantung dari masyarakat sekitar. Pelaksanaan upacara agama sekaligus daerah
untuk mengais rezeki terletak di kawasan Tanjung Benoa. Potensi wisata yang
sangat menguntungkan membuat para investor melirik Tanjung Benoa untuk
mengadakan pembangunan besar-besaran ditengah laut dengan cara reklamasi. Reklamasi
pantai dengan cara membuat sebuah pulau buatan diatas laut menuai kontroversi
diantara berbagai pihak salah satunya adalah masyarakat pesisir Benoa dengan
investor rakus.
Latar Belakang
Dari
tahun ke tahun, pembangunan dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi terus
digencarkan di beberapa daerah perkotaan. Namun, saat ini pembangunan tak lagi
terfokus pada perkotaan yang padat penduduk melainkan beralih ke daerah
strategis yang cenderung terdapat didaerah pedesaan ataupun pesisir. Kurangnya
ketersediaan tanah dikota menyebabkan daerah esisir dan laut menjadi korban
untuk dimanfaatkan dan dialihfungsikan menjadi wilayah daratan. Tak jarang para
investor melirik daerah pesisir dan laut untuk melakukan pembangunan dengan
alternatif penimbunan wilayah pantai yang dikenal dengan sebutan reklamasi
pantai.
Sumber
daya alam yang bisa diperbaharui dengan ketersediaan yang tidak terbatas salah
satunya adalah laut. Indonesia memiliki lautan yang luas sekitar 3.273.810 km²
sekitar 63% dari luas negara Indonesia. Luasnya wilayah laut bumi pertiwi dengan
kekayaan sumber daya alam dibawahnya membuat Indonesia dikatakan negara “kaya”
akan alamnya. Kaya dalam tanda kutip menandakan bahwa Indonesia saat ini kaya
bukan karena keaslian alamnya namun pengolahannya. Pengolahan yang ditujukan
untuk memberikan value added tak lagi
memperhatikan lingkungannya. Salah satunya adalah pembangunan yang tidak
berkelanjutan yang tidak memikirkan generasi penerusnya.
Reklamasi
pantai menjadi isu yang sangat kontroversial di lingkungan masyarakat. Dalam
KBBI, reklamasi adalah usaha memperluas tanah (pertanian) dengan memanfaatkan
daerah yang semula tidak berguna (misalnya dengan cara menguruk daerah
rawa-rawa). Sesuai dengan definisinya,
reklamasi yang baik adalah pembuatan tempat baru yang dilakukan dengan cara
memanfaatkan lingkungan yang sudah mati (contohnya: kawasan bekas penambangan)
dan diubah menjadi lingkungan yang produktif. Namun, lain halnya dengan yang
dilakukan oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) yang tidak memahami
dengan baik definisi reklamasi pantai tersebut. Alhasil, reklamasi yang
dilakukan di Tanjung Benoa mengurug pasir di pantai yang masih “memiliki
kehidupan” dan menimbunnya dengan material-material untuk membentuk sebuah
objek wisata. Hal ini tentunya menimbulkan beberapa penolakan dari berbagai
lapisan masyarakat khususnya masyarakat pesisir Tanjung Benoa.
Sewaktu
zaman Soeharto, rekalamasi pantai pernah dilakukan di Tanjung Benoa seluas 300
hektar. Pengurugan pasir dilakukan sedemikian rupa untuk melakukan program
Pembangunan Lima Tahun (Pelita), namun masyarakat tidak berani mengeluarkan
suara penolakan akibat rezim Soeharto yang
saat itu dicap sebagai diktator. Reklamasi yang dilakukan oleh Soeharto sangat
tidak membuahkan hasil dikarenakan pergantian kekuasaan oleh B.J. Habibie.
Dampaknya sangat memilukan sekali karena salah satu kawasan laut yang saat itu
ditimbun pasir sekarang menjadi tanah lapang yang tidak berfungsi lagi. Bahkan
masyarakat Bali sampai saat ini tidak diizinkan untuk menginjakkan kaki di
daerah tersebut. Salah satu pengalaman buruk tersebut, menjadikan masyarakat
Bali memiliki stigma negatif segala bentuk proyek yang mereklamasi pantai.
Dampak
yang ditimbulkan dari proyek ini bukan sebatas degradasi lingkungan saja.
Pengaruhnya sangat menyebar ke berbagai aspek sosial, ekonomi dan budaya sangat
meresahkan masyarakat. Lebih parahnya lagi, dampak yang sangat kompleks
tersebut sebagian besar ditanggung oleh masyarakat lokal bukan para investor. Investor
yang hanya mengeruk keuntungan dari proyek yang telah dibuat berbanding terbalik
dengan masyarakat Tanjung Benoa yang harus kehilangan mata pencaharian dan rasa
ketakutan akan bencana yang akan terjadi.
Rumusan Masalah
Didalam
paper ini akan dijelaskan beberapa rumusan masalah yaitu:
1. Apakah Tanjung Benoa diperlukan reklamasi
pantai untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Bali?
2. Bagaimana
dampak terhadap masyarakat dan lingkungan dari pembangunan di Tanjung Benoa?
3. Apakah
upaya yang tepat untuk melindungi Tanjung Benoa dari reklamasi?
Tujuan Penelitian
Adapun
dalam paper ini menjelaskan beberapa tujuan yaitu :
1. Untuk
mengetahui apakah Tanjung Benoa diperlukan reklamasi pantai untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi Bali.
2. Untuk
mengetahui bagaimana dampak terhadap masyarakat dan lingkungan dari pembangunan
di Tanjung Benoa
3. Untuk
mengetahui upaya yang tepat untuk melindungi Tanjung Benoa dari reklamasi.
Landasan Teori
Immanuel Kant mengatakan bahwa “Experience without theory is blind”. Oleh karena itu dibutuhkan teori dalam menyelesaikan sebuah masalah dengan tujuan agar pembahasan yang akan disampaikan memiliki dasar yang jelas. Namun, sebelum menjelaskan teorinya, kasus reklamasi yang terjadi dilaut harus diklasifikasikan kedalam beberapa jenis barang :
Teori
Lynch dan Harwell (2002) mengatakan bahwa ada pengelolaan tepat untuk Common
Pool Resources. Common Pool Resources yang selalu dihadapkan dengan
pemanfaatan berlebih terhadap sumberdaya yang bersifat Non-excludeable dan
Rival.
Eksploitasi
ini memberikan pengaruh negatif untuk berberapa pihak khususnya masyarakat yang
yang berpijak di dekat lingkungan sumber daya tersebut. Oleh karena itu Lynch
dan Harwell membawa teori yang bernama Spektrum Hak Kepemilikan.
Dalam
mewujudkan pembangunan yang adil Lynch menyebutkan ada beberapa hasil
kepemilikan yang dapat digambarkan dari grafik diatas yaitu kelompok-publik,
kelompok-swasta, swasta-individu, dan individu-publik.
Pembahasan
Tahun
ke tahun begitu banyak proyek-proyek yang dijalankan oleh beberapa perusahan
besar di Indonesia contohnya Giant Sea Wall dan lain sebagainya. Kenyataannya
memang proyek-proyek ini menunjang perekonomian namun dampak dalam jangka
panjangnya layaknya senjata makan tuan yang berawal dari menunjang beralih
menjadi menjatuhkan. Terkadang beberapa investor yang ingin mencapai
keberhasilan dalam hal pembangunan melupakan implikasinya terhadap masyarakat
maupun lingkungan. Pembangunan memang penting dalam perekonomian, namun yang
menjadi prioritas adalah kehidupan lingkungan sekitarnya.
Sebuah
dokumen Surat Keputusan (SK) Gubernur Bali bernomor 2138/02-C/HK/2012 membuat
publik Bali tercengang pada awal Juli lalu. Dalam SK tersebut, sebuah
perusahaan swasta PT. Tirta Wahana Bali International (PT. TWBI) diberikan izin
dan hak pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan wilayah perairan Teluk
Benoa, sebuah perairan strategis di selatan Bali. PT. TWBI diberikan hak
pemanfaatan seluas 838 hektar dengan jangka waktu 30 tahun, dan dapat
diperpanjang 20 tahun.
Diatas
pulau tersebut akan dibangun hotel wisata, tempat ibadah dengan lima agama, mall, area komersil dan lain
sebagainya. Terkait dengan reklamasi Tanjung Benoa, menurut berita harian
Kompas.com Bali saat ini sudah berhasil menarik
wisatawan mancanegara dari kawasan Asia Pasifik mencapai 60 persen dari 3,7
juta masyarakat internasional yang melakukan perjalanan wisata 2014, dan mereka
umumnya tertarik karena pantai. Wisatawan asing memang tertarik akan nuansa
alam Bali bukan bangunan-banguna pencakar langit yang berisi mall, bioskop dan lain sebagainya.
Alasan wisatawan asing berlibur dikarenakan ingin menikmati suasana yang berudarakan
segar yang berbeda dari negara asalnya yang penuh dengan bangunan pencakar
lagit.
Selain
itu, masyarakat Tanjung Benoa dikenal dengan keramahannya dan adat yang begitu
kental didalam budayanya. Hal ini menjadi salah satu faktor penarik wisatawan
untuk mengunjungi Tanjung Benoa. Pembelajaran akan adat dan budaya menjadi
fokus masyarakat lokal untuk mengenalkan budaya Bali ke berbagai lapisan
masyarakat hingga kacah internasional. Tanpa pembangunan barupun Tanjung Benoa
masih bisa menarik pengunjung dengan kekayaan akan nuansa religi, budaya dan
adatnya.
ForBALI
adalah forum non partisan dan independen, yang dibentuk oleh masyarakat Bali
sebagai forum perlinungan bagi masyarakat dan lingkungan Bali secara utuh. ForBALI
tidak anti pembangunan dan tidak anti pariwisata. Mereka sangat mendukung
pembangunan pariwisata di Bali selama proses pembangunan tersebut tidak
menghancurkan masa depan alam, lingkungan dan adatistiadat di Bali, bersih dari
korupsi dan aksi kongkalingkong penguasa dan pengusaha, serta taat pada hukum.
Oleh
karena itu, Tanjung Benoa tidak memerlukan reklamasi pantai dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi terlebih yang merusak alam , tanpa reklamasi Tanjung Benoa
tak pernah sepi akan pengunjung dan pertumbuhan ekonomi penduduk sekitar masih
cukup stabil. Dan dengan diadakannya reklamasi justru akan membuat sebagian
kegiatan ekonomi masyaraat Tanjung Benoa menjadi terhambat dan akan dijelaskan
di pembahasan selanjutnya.
Reklamasi
pantai tentunya secara kasat mata menimbulkan berbagai dampak negatif baik dari
segi lingkungan, sosial dan budaya. Pertama adalah dari segi lingkungan yang secara
jelas sangat merusak kualitas ekosistem laut Tanjung Benoa. Reklamasi pantai
merupakan penimbunan pasir di pantai hingga dilakukan penyemenan akibatnya
kehidupan bawah laut akan mati. Terumbu karang yang menjadi tempat hidup
beberapa jenis ikan menjadi kehilangan habitat. Terumbu karang yang menjadi
penyangga kehidupan akan dihancurkan sehingga tidak ada lagi kehidupan coral
bawah laut. Hal ini membuktikan bahwa Tanjung Benoa yang merupakan kawasan
konservasi (kawasan yang dilindungi) menjadi kawasan yang dapat direklamasi.
Selain
rusaknya coral, Bali pasti akan terancam banjir
dan yang lebih parah adalah tanjung benoa yang menjadi kawasan yang pertama kali akan tenggelam.
Pengurugan pasir akan membuatlaunt semakin dalam yang akhirnya arus airpun
menjadi tidak stabil sehingga jika terjadi pasang maka ombak sewaktu-waktu akan
langsung menerjang daerah pesisir Tanjung Benoa. Alasan yang menjadikan
reklamasi membuat Tanjung benoa banjir adalah lokasi Tanjung Benoa yang menjadi
muara dari 5 Daerah Aliran Sungai yaitu DAS Badung, DAS Mati, DAS Tuban, DAS Bualu,
dan DAS Sama. Ketika terjadi reklamasi, maka daerah penampung aliran sungai
menjadi berkurang, sehingga Bali sangat memungkinkan untuk terjadi banjir.
Ketika terjadi banjir, yang dapat kerugian terbesar pasti masyarakat setempat.
Pembangunan saat ini yang sangat disayangkan membuat terjadi kesenjangan, yang
kaya akan semakin dan yang miskin akan semakin miskin.
Kedua
adalah dari segi sosial terhadap dampak yang ditimbulkan dari reklamasi. Mayoritas
masyaraat Tanjung Benoa memiliki mata pencaharian nelayan. Menghidupi
keluarganya dengan mengambil dari alam. Namun, ketika ada kebijakan reklamasi
tempat melaut mereka jadi berkurang sehingga sumber daya ikanpun juga ikut
berkurang. Akibatnya, para nelayan akan melaut lebih jauh lagi untuk mendpatkan
ikan lebih banyak. Konsekuensi terakhir yang didapat adalah waktu bersama
keluarga akan semakin berkurang. Disini terlihat bahwa ada beban sosial
tersendiri bagi masyarakat nelayan.
Yang
menjadi garis besar saat ini apakah dengan adanya pembangunan objek wisata oleh
PT. TWBI akan membangun pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal Tanjung Benoa.
Pembangunan mega proyek pasti akan membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Tenaga
kerja bisa saja di rekrut dari masyarakat lokal namun batas jabatan mereka
hanyalah sebagai ‘kuli bangunan’. Untuk menjadi karyawan tetap disebuah objek
wisata tersebut, PT. TWBI akan memilih orang-orang yang berkualifikasi untuk
dipekerjakan. Namun, saat ada depht
interview dengan masyrakat sekitar Tanjung Benoa jika mereka diberikan
pihak untuk bekerja di ‘pulau baru’ atau nelayan, mereka akan memilih untuk
nelayan. Pekerjaan tersebut menjadi sebuah tradisi turun-temurun dari nenek
moyang sehingga sudah menjadi kebiasaan yang wajib dilakukan.
Yang
terakhir adalah dampak reklamasi pantai dari segi budaya. Dalam penelitian yang
dilakukannya di Teluk Benoa mulai dari 1 Mei 2015 tersebut ditemukan 60 titik
suci di kawasan Teluk Benoa dengan pembagian 24 Pura, 19 Loloan dan 17 Muntig. Teluk
Benoa merupakan Campuhan Agung (Pertemuan sungai-sungai dengan laut yang
disucikan), tempat pertemuan-pertemuan energi niskala dan diyakini sebagai
tempat berkumpulnya ruh suci dan para Hyang/Bhatara/Dewa. Tanjung Benoa
merupakan tempat upacara adat yang serig digunakan oleh masyarakat Tanjung
Benoa. Ketika rencana reklamasi terealisasikan, kawasan suci menjadi terhalang
dan bahkan akses menuju tempat suci tersebut akan terhalang oleh kawasan
reklamasi.
Begitu
kompleks dampak yang ditimbulkan dari reklamasi pantai meyebabkan segala
penolakan dari masyarakat semakin bertubi-tubi akan perencanaan mega proyek
tersebut. Hal ini disebabkan laut merupakan barang sumber daya bersama yang
bersifat rival dan non-excludeable. Artinya, laut adalah barang dimana tidak
ada kepemilikan khusus/ tidak eksklusif dimiliki oleh seseorang melainkan laut
bisa dinikmati manfaatnya oleh seluruh masyarakat namun hal tersebut bisa
mengurangi kesempatan seseorang lain untuk menikmati hal yang serupa. Seperti
contohnya dalam kasus rekalamasi pantai. Laut adalah milik seluruh masyarakat
dan tidak kepemilikan khusus bagi sesorang untuk memiliki secara ekskulusif.
Sehingga ada pemikiran masyarakat tertentu yang ingin menikmati secara maksimal
laut tersebut dengan cara menimnbun asir untuk melakukan pembangunan sehingga meraup
keuntungan pribadi. Dengan adanya reklamasi pantai, maka kesempatan nelayan
ataupun masyarakat Tanjung Benoa untuk menikmati hasil laut semakin berkurang
hal ini yang dinamakan sifat rival dimana seseorang lain kesempatannya
berkurang untuk menikmati barang serupa.
Masalah
Common Pool Resources terus
bermunculan hingga menyebabkan pembangunan tidak berimbang. Sesuai dengan Teori
Lynch, ada 4 kemungkinan kepemilikan yang terjadi yaitu kelompok-publik,
kelompok-swasta, swasta-individu, dan individu-publik. Permasalahan yang ada di
Tanjung Benoa merupakan kepemilikan antara swasta dan publik (dikuasai oleh
negara). Hak privatisasi untuk swasta dilakukan pemerintah dikarenakan hal yang
lebih menguntungkan daripada harus menyerahkan kepada masyarakat setempat. Hal
ini cenderung mengarah kepada kerusakan lingkungan dan masyarakat. Mayoritas
perusahaan swasta tidak melakukan prosedur AMDAL dan selalu diloloskan begitu
saja oleh pemerintah.
Untuk
menangani dampak yang akan terjadi jika pemerintah memeprebolehkan PT. TWBI
maka yang dilakukan pertama kali adalah monitoring dari masyarakat, pembatasan
akses dan pemberian sistem reward kepada masyarakat setempat akibat
pegalihfungsian laut menjadi daratan. Monitoring masyarakat dapat dilakukan
dengan cara pembuangan limbah dengan pemberlakuan sistem daur ulang dan
tentunya harus mengikuti proses AMDAL sebelum mendapat perizinian masyarakat
setempat. Pembatasan akses bisa dilakukan dengan cara pembatasan lahan yang
akan di reklamasi serta material yang digunakan untuk menimbun lautan tersebut.
Adakalanya mencontoh orang Bajo di Telok Benoa yag mereklamasi menggunakan
karang mati bukan dengan timbunan pasir ataupun semen sehingga ekosistem
diseitarnya tidak akan rusak. Meskipun waktu yang dibutuhkan untuk mereklamasi
3 hektare menjadi 12 hektare membutuhkan waktu lama namun hal ini tetap menjaga
Tanjung Benoa sebagai daerah konservasi. Pembatasan akses juga dilakukan dengan
cara pembatasan penggunaan air bersih. Masyarakat Tanjung Benoa pernah
merasakan kekurangan air bersih akibat rekalamasi pantai. Pemerataan air harus
merata diantara kedua daerah yaitu daeraha relamasi dan daerah pesisir.
Pemberian reward kepada masyarakat setempat bisa dengan cara pemberian lapangan
pekerjaan apabila mega proyek benar-benar terealisasi.
Namun
, berbeda kasus jika kepemilikan Tanjung Benoa yang dikuasai negara
(kepemilikan publik) bekerjasama dengan kelompok masyarakat Tanjung Benoa
(kepemilikan kelompok). Hal ini membuat hak-hak masyarakat yang menduduki lebih
lama diakui dan meraka akan mengerti tentang kondisi alam. Dalam hal ini
pemerintah sebagai sarana untuk pembina masyarakat dan monitoring kemajauan perkembangan
pembangunan. Untuk masyarakat setempat bisa mengelola kawasan Tanjung Benoa
dengan memeberlakukan pembangunan berkelanjutan. Dalam hak kepemilikan
publik-kelompok hak-hak masyarakat Tanjung Benoa lebih diakui eksistensinya di
kawasan tersebut. Hal ini juga akan berdampak positif sekali terhadap
pertumbuhan ekonomi masyarakat Bali, dengan kepemilikan masyarat setempat,
masyarakt bisa mengelola kekayaan alamnya menjadi sesuatu hal yang memiliki
nilai tambah tanpa menyakiti bumi pertiwinya.
Kesimpulan
Rencana
reklamasi pantai yang akan dilakukan oleh PT. TWBI di Tanjung Benoa sangat
menuai pro kontra dari berbagai pihak, baik dari para investor, pemerintahan
Bali atapun masyarakat pesisir Tanjung Benoa. Relamasi seluas 833 hektare
dengan jangka waktu 30 tahun akan dibangun hotel wisata, tempat ibadah dengan
lima agama, mall, area komersil dan
lain sebagainya. Hal ini tentunya mengalami penolakan dari masyarakat Bali yang
diwakilkan oleh ForBali dalam penyampaian pendapatdalam diskusi-diskusi dengan
pihak luar.
Dari
pembahasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa, Tanjung Benoa tidak memerlukan
reklamasi pantai dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi terlebih yang merusak
alam, tanpa reklamasi Tanjung Benoa tak pernah sepi akan pengunjung dan
pertumbuhan ekonomi penduduk sekitar masih cukup stabil. Selain itu dampak yang
ditimbulkan sangat multidimensional baik dari segi lingkungan, sosial dan
budaya. Solusi yang dapat dilakukan untuk menangani beberapa dampak yang akan
terjadi adalah jika pemerintah memperbolehkan PT. TWBI untuk melakukan
pembangunan maka harus ada monitoring
dari masyarakat, pembatasan akses dan pemberian sistem reward kepada masyarakat
setempat akibat pegalihfungsian laut menjadi daratan. Selain itu, kepemilikan
jangan lagi membawa swasta karena pasti swasta enggan untuk melakukan prosedur
AMDAL dan hak kepemilikan
publik-kelompok lebih tepat digunakan agar hak-hak masyarakat Tanjung Benoa
lebih diakui eksistensinya di kawasan tersebut. Hal ini juga akan berdampak
positif sekali terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat Bali.
Daftar
Pustaka
Anonim.
(2013). Luas Wilayah Negara Indonesia. Diakses
tanggal 20 Desember 2015 dari http://www.invonesia.com/luas-wilayah-negara-indonesia.html
Asdhiana,
I Made. (2015). Mengapa Pelancong
Tertarik Berlibur ke Tanjung Benoa?. Diakses tanggal 21 Desember 2015 dari http://travel.kompas.com/read/2015/03/29/192600427/Mengapa.Pelancong.Tertarik.Berlibur.ke.Tanjung.Benoa.
Bayu,
Dimas Jarot. (2015). Ekologi Bali Selatan
Terancam Rusak karena Reklamasi. Diakses tanggal 21 Desember 2015 dari http://properti.kompas.com/read/2015/02/27/200014121/Ekologi.Bali.Selatan.Terancam.Rusak.karena.Reklamasi
Darmoko,
Suriadi. (2015). Tidak Bisa Dibantah:
Teluk Benoa Kawasan Suci. Diakses tanggal 21 Desember 2015 dari http://balebengong.net/lingkungan/2015/11/07/tidak-bisa-dibantah-teluk-benoa-kawasan-suci.html
Erie Sudewo. (2014). Mencari
Tauladan Kesesuaian antara Teori dan Praktek. Diakses pada tanggal 18
Desember 2015 dari indonesiaberkarakter.org.
Erviani,
Ni Komang. (2013). Walhi Bali: Dokumen
Izin Pengelolaan Teluk Benoa Dirilis Saat Publik Gencar Menolak Reklamasi. Diakses
tanggal 21 Desember 2015 dari http://www.mongabay.co.id/tag/tirta-wahana-bali/
ForBali.
(2014). 13 Alasan Tolak Reklamasi Teluk Benoa. hal. 1.
ForBali.
(2014). Apa itu ‘Bali Tolak Reklamasi’?. hal.1.
Kalalo,
Flora Pricilla. (2009). Implikasi Hukum
Kebijakan Reklamasi Pantai dan Laut di Indonesia Buku 2. Jakarta: LoGoz
Publishing.
Lynch O,Harwell.2002.Whose Natural Resources?Whose Common Good?Toward a New
Paradigm of Environmental Justice and the Nastional Interest in Indonesia. Bogor
[ID]: Studio Kendil.
Prasetya,
Ferry. (2012). Modul Ekonomi Publik
Bagian IV: Teori Barang Publik.
Provinsi Bali. (2010). Bali dan
Pariwisata. Diakses tanggal 21 Desember 2015 dari http://www.baliprov.go.id/id/Bali-dan-Pariwisata
Pusat
Bahasa Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta:
Balai Pustaka
Sarilani,
Ni Putu. (2011). Masalah Lingkungan:
Mengelola Sumberdaya Bersama – Menghindari “Tragedy of the Commons”.
Todaro,
Michael dan Stephen Smith. (2006). Pembangunan
Ekonomi Edisi Kesembilan Jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar