Ancaman kerusakan hutan sebenarnya telah
ditemukan Greenpeace sejak tahun 2008. Ketika itu didapati adanya pembukaan
hutan sagu dan nipah di selatan Jayapura serta pembalakan ilegal di wilayah
konsesi PT Kaltim Hutama dan PT Centricodi daerah Kaimana, Papua Barat. Setiap
tahunnya hutan di Papua mengalami penurunan jumlah yang didominasi oleh
pembabatan hutan kelapa sawit. Mega proyek Merauke Integrated Food dan Energy
Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke serta aktivitas penebangan oleh perusahaan
pemegang Hak Pengusahaan Hutan, berperan besar meningkatkan deforestasi di
Papua.
Kasus yang dialami Papua ini memberikan
bukti bahwa ada beberapa persoalan dasar yang berkaitan dengan masalah
lingkungan hidup dan pembangunan. Pembangunan proyek di Kabupaten Merauke telah
menghabiskan 228.022 ha hutan. Seperti yang telah diketahui, hutan di Papua
menjadi sumber kehidupan masyarakat guna memenuhi kebutuhan makan dari pohon
sagu. Kawasan hutan yang dirombak habis-habisan akibat adanya pembangunan
proyek mngakibatkan fungsi hutan yang menurun. Penyerapan air yang kurang
maksimal sehingga sumber airpun menjadi berkurang, ketika sumber air berkurang
tanah menjadi sangat kering. Tak jarang angin dan sinar matahari langsung
menusuk ke kulit dikarenakan tidak adanya pelindung yang awalnya berasal dari
hutan-hutan di sekeliling mereka. Bukan hal yang jarang kita temukan ketika
pembukaan hutan untuk kepentingan proyek dapat menurunkan kualitas lingkungan
hidup.
Mega proyek Merauke Integrated Food dan
Energy Estate (MIFEE) merupakan proyek dari rencana Jokowi yang telah
menyutujui masuknya 10 BUMN dan 37 perusahaan swasta, termasuk perusahaan asing
yang didalamnya terdapat Sinar Mas dan Artha Graha. Pembukaan laha 1,2 juta
hektar diperuntukkan untuk hasil proyeksi dmasa depan yang dapat menghasilkan
7,1 ton beras per hektar setiap tahunnya. Dengan tercapainya angka tersebut
Jokowi mengharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan 30% masyarakat Indonesia.
Namun, hal ini tentunya berdampak pada tidak terpenuhinya perjanjian bilateral
antara Indonesia dengan Norwegia. Perjanjian yang telah disetujui pada bulan
Mei 2010 menyatakan bahwa Norwegia ingin bekerjasama dengan Indonesia dalam hal
pengurangan emisi, deforestasi, dan kerusakan lahan gambut. Pada kenyataannya pemerintah
Indonesia menghapus 350.000 hektar lahan gambut dan 200.000 hektar hutan primer
yang merupakan bagian dari area pembangunan MIFEE dan hal ini tentunya melanggar
Forest Moratorium. Menurut Arief Yuwono, Deputi Bidang Kerusakan Lingkungan
Hidup dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa pentingnya untuk menjaga hutan Papua sebagai
pertahanan terakhir dalam melestarikan keanekaragaman hayati dikarenakan laju
kerusakan hutan di Indonesia sangat tinggi. Harapan Papua dalam menjaga
hutannya mulai pudar ketika pemerintah Indonesia menghapus beberapa aturan
dalam perjanjian yang sebenarnya Indonesia mendapat bantuan dana 1 miliyar
ketika memegang teguh perjanjian tersebut.
Hak kepemilikian pribadi (property right) masyarakat Papua yang
mendiami daerah khususnya Kabupaten Merauke dirampas oleh berbagai pihak yang
memiliki kepentingan dan kekuasaan. Pengeksplotasian sumber daya guna
menghasilkan beras bagi mayoritas masyarakat menjadi beban tersendiri terhadap
masyarakat papua yang tidak lagi dapat menikmati pohon sagu sebagai sumber
kehidupan pangan. Tanah yang mereka miliki justru mereka sendiri yang tidak
dapat menikmati hasilnya. Konflik dalam mempertahankan hak dasar masyarakat
Papua terus terjadi selama berpuluh-puluh tahun. Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera), yang berlangsung tidak bebas dan tidak memberikan pilihan apapun.
Hasil menunjukkan bahwa hanya 1000 orang masyarakat Papua yang bertindak dalam
konflik sedangkan ratusan ribu masyarakat lainnya memutuskan untuk suara bulat
‘mengikuti Indonesia’.
Tak hanya berhenti di fase perampasan
hak milik masyarakat Papua. Namun, permasalahan pembangunan MIFEE terus
berlanjut pada pengrusakan lingkungan yang berefek langsung pada kesehatan
masyarakat. Pembukaan lahan di Kabupaten Merauke memunculkan analisis angka
yang luar biasa terhadap titik-titik api yang tertangkap oleh satelit Badan
Metereologi, , Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) . 104 titik api di daerah
Papua bagian selatan merupakan kondisi yang turut memprihatinkan. Kebakaran
yang mudah terjadi ketika adanya pembukaan lahan tidak hanya merugikan dalam
hal material namun turuh berkontribusi terhadap ‘sesaknya’ dunia. Kabut asap
yang mungkin timbul dapat menggangu aktivitas transportasi seperti contohnya
penerbangan yang mengalami kemandegan. Parahnya, tingkat kematianpun akan
meningkat saat kabut asap tak lagi dapat ditolong. Timbulnya penyakit asma,
ISPA dan lain sebagainya menjadi sorotan masyarakat untuk mencari cara
memepertahankan hidup.
Sumber :
Kunjungan Delegasi
Norwegia, dari REDD+ Style sheet km.reddplusid.org/ (3 Des 2015)
Maga, Anwar. Bila hutan Papua jadi pertahanan terakhir
cegah deforestasi Indonesia. Diakses pada tanggal (3 Des 2015), dari http://papua.antaranews.com/berita/447867/bila-hutan-papua-jadi-pertahanan-terakhir-cegah-deforestasi-indonesia
Omana, Jerry. 300 Ribu Hektar Hutan Papua Rusak Tiap Tahun. Diakses pada tanggal (3 Des 2015), dari http://www.reddplus.go.id/berita/fitur/694-300-ribu-hektar-hutan-papua-rusak-tiap-tahun
Respatiadi, Hizkia. MIFEE: Membakar pepohonan, menanam padi.
Diakses pada tanggal (3 Des 2015), dari http://www.cips-indonesia.org/news/detail/mifee-membakar-pepohonan-menanam-padi-62
Tanah Papua : perjuangan
yang berlanjut untuk tanah dan penghidupan. Buletin DTE Edisi Khusus. No.
89-90,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar