Jumat, 02 Desember 2016

Pembangunan Proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke terhadap Deferostasi di Papua

Ancaman kerusakan hutan sebenarnya telah ditemukan Greenpeace sejak tahun 2008. Ketika itu didapati adanya pembukaan hutan sagu dan nipah di selatan Jayapura serta pembalakan ilegal di wilayah konsesi PT Kaltim Hutama dan PT Centricodi daerah Kaimana, Papua Barat. Setiap tahunnya hutan di Papua mengalami penurunan jumlah yang didominasi oleh pembabatan hutan kelapa sawit. Mega proyek Merauke Integrated Food dan Energy Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke serta aktivitas penebangan oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan, berperan besar meningkatkan deforestasi di Papua.
Kasus yang dialami Papua ini memberikan bukti bahwa ada beberapa persoalan dasar yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup dan pembangunan. Pembangunan proyek di Kabupaten Merauke telah menghabiskan 228.022 ha hutan. Seperti yang telah diketahui, hutan di Papua menjadi sumber kehidupan masyarakat guna memenuhi kebutuhan makan dari pohon sagu. Kawasan hutan yang dirombak habis-habisan akibat adanya pembangunan proyek mngakibatkan fungsi hutan yang menurun. Penyerapan air yang kurang maksimal sehingga sumber airpun menjadi berkurang, ketika sumber air berkurang tanah menjadi sangat kering. Tak jarang angin dan sinar matahari langsung menusuk ke kulit dikarenakan tidak adanya pelindung yang awalnya berasal dari hutan-hutan di sekeliling mereka. Bukan hal yang jarang kita temukan ketika pembukaan hutan untuk kepentingan proyek dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup.
Mega proyek Merauke Integrated Food dan Energy Estate (MIFEE) merupakan proyek dari rencana Jokowi yang telah menyutujui masuknya 10 BUMN dan 37 perusahaan swasta, termasuk perusahaan asing yang didalamnya terdapat Sinar Mas dan Artha Graha. Pembukaan laha 1,2 juta hektar diperuntukkan untuk hasil proyeksi dmasa depan yang dapat menghasilkan 7,1 ton beras per hektar setiap tahunnya. Dengan tercapainya angka tersebut Jokowi mengharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan 30% masyarakat Indonesia. Namun, hal ini tentunya berdampak pada tidak terpenuhinya perjanjian bilateral antara Indonesia dengan Norwegia. Perjanjian yang telah disetujui pada bulan Mei 2010 menyatakan bahwa Norwegia ingin bekerjasama dengan Indonesia dalam hal pengurangan emisi, deforestasi, dan kerusakan lahan gambut. Pada kenyataannya pemerintah Indonesia menghapus 350.000 hektar lahan gambut dan 200.000 hektar hutan primer yang merupakan bagian dari area pembangunan MIFEE dan hal ini tentunya melanggar Forest Moratorium. Menurut Arief Yuwono, Deputi Bidang Kerusakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa  pentingnya untuk menjaga hutan Papua sebagai pertahanan terakhir dalam melestarikan keanekaragaman hayati dikarenakan laju kerusakan hutan di Indonesia sangat tinggi. Harapan Papua dalam menjaga hutannya mulai pudar ketika pemerintah Indonesia menghapus beberapa aturan dalam perjanjian yang sebenarnya Indonesia mendapat bantuan dana 1 miliyar ketika memegang teguh perjanjian tersebut.
Hak kepemilikian pribadi (property right) masyarakat Papua yang mendiami daerah khususnya Kabupaten Merauke dirampas oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan kekuasaan. Pengeksplotasian sumber daya guna menghasilkan beras bagi mayoritas masyarakat menjadi beban tersendiri terhadap masyarakat papua yang tidak lagi dapat menikmati pohon sagu sebagai sumber kehidupan pangan. Tanah yang mereka miliki justru mereka sendiri yang tidak dapat menikmati hasilnya. Konflik dalam mempertahankan hak dasar masyarakat Papua terus terjadi selama berpuluh-puluh tahun. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), yang berlangsung tidak bebas dan tidak memberikan pilihan apapun. Hasil menunjukkan bahwa hanya 1000 orang masyarakat Papua yang bertindak dalam konflik sedangkan ratusan ribu masyarakat lainnya memutuskan untuk suara bulat ‘mengikuti Indonesia’.
Tak hanya berhenti di fase perampasan hak milik masyarakat Papua. Namun, permasalahan pembangunan MIFEE terus berlanjut pada pengrusakan lingkungan yang berefek langsung pada kesehatan masyarakat. Pembukaan lahan di Kabupaten Merauke memunculkan analisis angka yang luar biasa terhadap titik-titik api yang tertangkap oleh satelit Badan Metereologi, , Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) . 104 titik api di daerah Papua bagian selatan merupakan kondisi yang turut memprihatinkan. Kebakaran yang mudah terjadi ketika adanya pembukaan lahan tidak hanya merugikan dalam hal material namun turuh berkontribusi terhadap ‘sesaknya’ dunia. Kabut asap yang mungkin timbul dapat menggangu aktivitas transportasi seperti contohnya penerbangan yang mengalami kemandegan. Parahnya, tingkat kematianpun akan meningkat saat kabut asap tak lagi dapat ditolong. Timbulnya penyakit asma, ISPA dan lain sebagainya menjadi sorotan masyarakat untuk mencari cara memepertahankan hidup.                 
Sumber :
Kunjungan Delegasi Norwegia, dari REDD+ Style sheet km.reddplusid.org/ (3 Des 2015)
Maga, Anwar. Bila hutan Papua jadi pertahanan terakhir cegah deforestasi Indonesia. Diakses pada tanggal (3 Des 2015), dari http://papua.antaranews.com/berita/447867/bila-hutan-papua-jadi-pertahanan-terakhir-cegah-deforestasi-indonesia
Omana, Jerry. 300 Ribu Hektar Hutan Papua Rusak Tiap Tahun. Diakses pada tanggal (3 Des 2015), dari http://www.reddplus.go.id/berita/fitur/694-300-ribu-hektar-hutan-papua-rusak-tiap-tahun
Respatiadi, Hizkia. MIFEE: Membakar pepohonan, menanam padi. Diakses pada tanggal (3 Des 2015), dari http://www.cips-indonesia.org/news/detail/mifee-membakar-pepohonan-menanam-padi-62
Tanah Papua : perjuangan yang berlanjut untuk tanah dan penghidupan. Buletin DTE Edisi Khusus. No. 89-90,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar